Mengenal Senjata Kujang

Kujang merupakan sebuah senjata unik dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan juga melambangkan kekuatan dan keberanian untuk melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan, ataupun cindera mata[1].

Kujang dikenal juga sebagai senjata tradisional masyarakat yang berasal dari Jawa Barat (Sunda) yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah “kujang” berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti sebagaimana Prabu Siliwangi[1].

Perubahan kujang hingga berwujud seperti saat ini diperkirakan terjadi antara abad ke-9 sampai abad 12. Kujang yang saat ini kita kenal memiliki bagian – bagian [2]:

  1. Congo/Papatuk, yaitu ujung yang paling runcing yang digunakan untuk mencungkil.
  2. Eluk / Siih, yaitu lekukan-lekukan pada badan kujang, yang berfungsi untuk mencabik tubuh lawan.
  3. Tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah kujang.
  4. Waruga, yaitu badan kujang.
  5. Mata, yaitu lubang – lubang kecil yang terdapat pada waruga, jumlahnya bervariasi antara 3 – 9 lubang. Adapula yang tidak memiliki lubang yang disebut kujang buta.
  6. Tonggong, yaitu sisi tajang yang terdapat pada punggung kujang.
  7. Paksi, yaitu ekor kujang yang berbentuk lancip.
  8. Selut, yaitu ring yang dipasang pada ujung gagang kujang.
  9. Combong, yaitu lubang yang terdapat pada gagang kujang.
  10. Ganja, yaitu gagang kujang.
  11. Kowak, yaitu sarung kujang yang biasanya terbuat dari kayu samida yang berbau khas sehingga menambah kesan magis sebuah kujang.
  12. Pamor, yaitu garis-garis atau tutul-tutul pada waruga, selain menambah artistic, pamor juga dimaksudkan untuk menyimpan racun.

Berdasarkan fungsinya kujang dibedakan menjadi kujang pusaka (sebagai lambang keagungan / pelindung keselamatan), kujang pakarang (untuk berperang), kujang pangarak (sebagai alat upacara) dan kujang pamangakas (sebagai alat pertanian).

Pada masa kekuasaan Pajajaran bentuk kujang disesuaikan dengan status sosial pemiliknya, diantaranya sebagai berikut :

  1. Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), hanya boleh dimiliki oleh para Raja, Prabu Anom, Mantri Dangka dan tokoh Agama tergantung jumlah mata kujangnya.
  2. Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), hanya digunakan oleh orang setingkat Bupati.
  3. Kujang Kuntul (menyerupai bentuk burung bangau), hanya dimiliki oleh para patih dan Mantri.
  4. Kujang Bangkong (menyerupai kodok), hanya dimiliki oleh guru sekar, guru tangtu, guru alas dan guru cucuk.
  5. Kujang Naga (menyerupai naga), hanya dimiliki oleh para kanduru dan para jaro.
  6. Kunjang Badak (menyerupai Badak), hanya dimiliki oleh para prajurit.
Pembuat kujang disebut Guru Teupa. Dalam pembuatannya guru Teupa harus mengikuti aturan dan menjalani beberapa ritual agar kujang yang dihasilkan sempurna. Aturan tersebut diantaranya dalam hal waktu pembuatan dan diharuskannya berpuasa sebelum pembuatan kujang dimulai. Selain itu seorang Guru Teupa juga harus memiliki keahlian yang tinggi, agar mampu menambah daya magis pada kujang yang dibuatnya.
Saat ini kujang sudah jarang digunakan baik sebagai perkakas, senjata maupun pusaka. Masyarakat Jawa Barat hanya menjadikannya sebagai simbol identitas, sebagaimana terdapat dalam lambang pemerintah propinsi Jawa Barat. Kebanggaan masyarakat sunda akan senjata khas mereka juga tampak dengan didirikannya tugu kujang diberbagai wilayah di Jawa Barat, seperti di Bogor, Tasikmalaya dan Indramayu.

Referensi:

[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kujang
[2]. http://palingindonesia.com/kujang-bukan-sekedar-senjata

Lapak Kujang Bogor

You may also like...